Sabtu, 05 Januari 2013

Words, I shouldn’t have heard


Jadi posting kali ini adalah hadiah fanfiction atau lebih tepatnya songfict yang diberikan dari sahabat saya, Lee Senri alias Ni Wayan. Dilatar belakangi oleh syndrom yang bernama "Gagal Move On" maka terciptalah fict ini. Berhubung saya mendapatkan ijin untuk memposting cerita ini, maka terpublish lah fiction ini. Enjoy !

Ini songfict terinspirasi dari TVXQ - How Can I (OST Athena : God of War) . Jadi, please play How Can I sambil baca fict nya.

Dan untuk sahabat saya, Senri yang menghadiahkan fict ini, GOMAWO !!! ^^




=========================================================================================


‘Sehun-ah, handphone-mu tertinggal,’ kata Luhan, memberikan handphone ke tanganku. Aku menerima handphone tersebut dengan senang hati kemudian kami semua pergi meninggalkan hotel, menuju ke sebuah kafe tempat kami biasa menghabiskan waktu untuk santai seusai menggelar konser comeback di London.


-


Kami berpesta, benar-benar berpesta. Xiumin-hyung mentraktir kami banyak makanan, banyak sekali makanan. Bahkan Tao, bisa terduduk diam kekenyangan karena teramat banyak makan. Kami benar menikmati malam itu, rasanya kelelahan ku terbayar melihat teman-temanku bersenang-senang hari ini. Ah, andai saja Seoyeon ada di sini.


-


‘Sehun-ah, handphone-mu berdering!’ kata Kai yang duduk disebelahku. Aku melihatnya sebentar, kemudian tersenyum melihat Caller ID bertuliskan ‘Seoyeonnie’. Aku melangkah keluar ke balkon kafe tersebut kemudian mengangkat telfon tersebut.
‘Yeoboseyo,’ dari seberang sana terdengar suaranya, terdengar lelah dan sengau. Aku melirik jam tanganku, sekarang pukul empat sore di London. Yang berarti sekitar tengah malam di Korea. Aku mengangkat alisku kebingungan. Ada apa dengannya?
‘Sehun-ah..’
‘Ne. Waegeurae, Seoyeon? Selarut ini? Disana sudah malam kan?’
‘Ne, sekarang sudah amat larut disini. Se-sehun-ah,’ Ia tergagap memanggil namaku.
‘Hm? Ada apa? Apa kau merindukanku Seoyeon?’ Aku menggodanya, mengharapkan sesuatu yang manis terucap dari bibirnya. Aku merindukanmu, sangat merindukanmu. Berapa bulan kita tidak bertemu? Lima? Atau enam bulan?
‘A-anhi. Sebenarnya.. Sehun-ah.. aku ingin kita putus..’
‘WA-WAE?! Seoyeon-ah, kau tidak sedang demam kan? Atau kau mengigau? Cepat kembali ke tidurmu,’ aku tersentak mendengar kata-kata tersebut—yang sangat jauh dari yang kuharapkan.
‘Ne, aku ingin kita putus.. A-aku pikir ini tidak bisa diteruskan lagi, Sehun-ah. La-lagipula aku akan memulai kuliahku lagi di Amerika. A—,’ ia tersedu, ‘I had enough. Kesibukanmu, kesibukanku. We’re over, Sehun. Mianhae..’ satu isakan tangis darinya sebelum sambungan telfon itu terputus dan meninggalkanku melihat matahari yang sinarnya tiba-tiba menyilaukan.

-

Words, I shouldn’t have heard.
My phone which I should’ve just forgotten to bring.
Words that makes me at a loss for words.
Words—
That don’t care about how I feel.

-

Aku menyandarkan badanku lemas ke dinding kaca pemisah antara ruang kami berpesta dengan balkon. Setelah menyadarkan diriku kembali, aku masuk kedalam dan melihat wajah teman-temanku.
‘Aku ke hotel,’
Menyadari bahwa aku melihat dunia dalam slow-motion. Semua pegawai hotel yang menyapaku, kujawab dengan pandangan kosong. Aku berjalan menuju kamarku kemudian menatapi London yang terang benderang di kaca transparan tersebut. Rasanya—rasanya, tak dapat kuuraikan.
Satu titik di dadaku, entah dimana, seperti sedang mencoba menyadarkanku bahwa semua ini mimpi buruk—teramat buruk. Aku tidak mau menerima kenyataan ini.
Lidahku pahit, kelu. Tak ada sisa dari rasa makanan enak yang sebelumnya ku makan.
Ku pejamkan mataku yang pedih—menahan tangis.
Namun yang terbayang hanyalah wajah Seoyeon, yang entah sekarang sedang melakukan apa. Apakah mungkin ia merasakan kehilangan sepertiku, atau.. ada yang lain selainku. Seandainya semudah itu melupakan dan melepaskannya, jika untuk orang yang lebih baik dariku—maka aku akan menerimanya.
Bagaimana caranya melupakanmu?
Apa yang harus kulakukan, untuk melupakanmu? Ketika yang lagi terbayang adalah senyummu. Cinta dan kasihmu yang memenuhi pundi harapanku? Yang terus membuatku berjuang—ketika semua motivasi hilang?
Adakah kemungkinan kita kembali bersama?
Aku rasa kau.. tidak benar-benar menginginkan.. perpisahan ini.

-

How can I forget you?
Should I put an effort to try and forget you?
Will we ever be able to go back to what we had?
Last words—
Which made us both at a loss for words.

-

‘Sehun-ah,’ Chanyeol menepuk bahuku, ‘Ayo sarapan, kita akan menuju Paris.’
Aku terpaku di meja makan, meneguk air jerukku tak peduli. Luhan menyodorkan sepinggan roti. Aku menepis piring itu menjauh. Mengapa mereka semua tidak mau mengerti bahwa rongga mulutku kering?
‘Sehun-ah, kau harus makan, meskipun hanya sedikit,’ Suho mulai membujukku, ‘Man, you’ve got to move on.’
‘Uh-uh, so much girls in the world, choose one, and—gotcha!’ Kris menimpali dari ujung meja makan. Disambut anggukan dari beberapa member lain.
Luhan kembali memberikanku sepinggan roti, kali ini dengan telur, ‘Kau pasti bisa dapatkan gadis lain, kay? Now eat.’
Aku terpaksa memakan rotiku, sebelum Luhan mulai menceramahiku bahwa hubungannya lancar-lancar saja dengan Senri, karena saling pengertian satu sama lain. Huh, bullshit, semua itu terjadi karena Senri memang menjadikan studinya sebagai namjachingu penggantinya ketika Luhan jauh. Seoyeon?

-

Suasana konser kali ini.. dalam putih dan hitam. Tidak aku tidak menampakkan senyum. Tapi aku boleh sedikit selfish kan?

-

Aku berjalan ke ruang ganti, meneguk air mineralku. Menutup mataku.
Seoyeon, ruang persiapan konser EXO empat tahun yang lalu.
‘Saranghae, Seoyeon-ah.. aku pikir kita bukan hanya sekedar sahabat sejak dahulu.. ki—kita lebih dari itu..’ kulihat tubuhnya yang sedang duduk bersebelahan bersamaku, setelah meneriakkan betapa ia suka akan dance yang kutampilkan beberapa saat lalu—mendadak kaku, ia terdiam. Dadaku berdebar, rasa adiktif debaran tersebut seperti saat menunggu giliranmu tampil di stage.
Aku menunggu, menunggu, menunggu.. akankah kau, merasakan hal yang sama?
Kata-kata apa yang akan kau keluarkan, akan menentukan perubahan posisiku. Sebagai namjachingunya atau sebagai sahabat yang ia jauhi karena sebuah kejujuran?
Ia mengambil handuk dari tanganku, melemparnya ke mukaku.
‘Baboya~ bersihkan dulu keringatmu sebelum mengatakan hal seperti itu, huh!’ Ia beranjak, aku menahan pergelangan tangannya.
‘Seoyeon-ah..’ rajukku.
Dalam beberapa saat kemudian ia mengambil handuk tersebut dari tanganku, membersihkan wajahku dari keringat, dan memberikan ciuman kecil di pipiku.
‘Aku tidak suka, keringatmu yang bercucuran. Rasanya sama, Sehun-ah. Why it takes a long time to make you realized it?’ Aku merasakan wajahku memanas dan ia meninggalkanku, sebelum melambai dengan wajah yang memerah.

-

When I would tell you that I loved you.
You would stop, and my heart would feel like it was exploding.
I have stopped and,
I’m simply waiting—
For your next words.
=====================================================================================
How can I forget you?
Should I put an effort to try and forget you?
Will we ever be able to go back to what we had?
Words that hurts, no matter what—
Words of Goodbye.

-

Aku menutup sambungan telfon tersebut. Pedih, rasanya. Aku tidak bermaksud.. menyakiti Sehun. Tapi. Semua sudah cukup, aku tak ingin lagi lelah, aku ingin mengakhiri semuanya. Aku ingin kehadirannya dalam bentuk hanya phone-call, internet call, atau email, atau apapun!
Mungkin, aku meminta apa yang ia tidak bisa berikan. Atau entahlah. Aku bingung.
Tapi.. jika ini memang keinginanku, why speaking those words felt too harsh? Mengapa rasanya juga sakit?
Mengapa rasanya seperti ada yang mengganjal dalam tenggorokanku, meninggalkan jejak pahit di pangkal lidahku..
Mengapa aku rasa.. aku menyesal.. melontarkan kata-kata tersebut..
Mengapa.. ia bukan orang biasa, yang dapat hadir disisiku setiap saat aku butuh?

-

If only time could stop.
If only we could erase.
If only we could go back in time.
To the day when we first met.

-

Aku menatap nanar lampu-lampu di luar kamarku. Akankah ia melakukan hal yang sama denganku? Akankah di suatu tempat ia menatap jendela, sepertiku? Yang kini mencari sosoknya dalam gelas kaca tersebut. Yang menatap gelas kaca di depan mataku seperti menatap televisi yang memutar ulang semua kenangan.
Aku ingin ia ada di sisiku, seperti hari-hari dimana aku bisa bermain bersamanya. Tanpa status yang jelas aku mendapatkan waktu yang tak berbatas untuk berada di sisinya, melihat senyum dan tawanya, melihat wajahnya, tatapan matanya yang tajam.
Aku hanya ingin semuanya kembali ke musim panas tujuh tahun yang lalu.
Dimana aku menemukan dan memanjakan mataku akan sosoknya yang tampan, disinari matahari sore.
Dimana aku akan bisa bermain bersamanya di tiap detik waktu yang kami punyai.
Dimana aku bisa melihatnya merengut karena sepedanya yang terkena pecahan kaca.
Dimana aku mulai mengingat hal-hal yang menjadi kesukaannya.
Dimana aku mulai belajar mencintainya.
Dimana, hari-hariku penuh akan dirinya.
Tuhan, aku ingin menjadi orang yang egois, sekali ini saja? Membiarkan waktu berhenti dan ia disisiku.

-
How can I forget you?
Should I put an effort to try and forget you?
Will we ever be able to go back to what we had?
My words are frozen, tears keep flowing, words which—
I don’t want to believe.
-

‘Ya! Mengapa kau?’ Senri memekik kaget saat aku menampakkan diri di pintu flatnya di pagi buta. Sekarang pukul enam, matahari belum lagi terbit.
Aku menghambur dalam pelukannya, ia kebingungan. Air mataku turun, turun, tidak berhenti.
‘Seoyeon-ah? Ada apa? Apa yang terjadi?’
Aku terus mengisak di bahunya. Ia membiarkanku beberapa saat kemudian menyeretku ke tempat tidurnya.
‘Sekarang tidur, puaskan tangismu, aku disini, kay?’ Ia mendesah, menepuk pundakku ringan, ‘Kau sakit? Ada anggota keluargamu yang ingin kau kabari?’ tanyanya lagi. Aku menggeleng lemah, kemudian air mata kembali membanjiri mataku.
‘Sekarang tidurlah.’

-

‘A-a-ku putus,’ kataku kaku, sembari memakan roti panggang yang dibuatkan Senri.
‘Mwo?’ Ia terbelalak, ‘Ada masalah apa?’
‘Aku pikir kami tidak akan memiliki waktu untuk bertemu lagi. Kau tahu aku akan berangkat ke Amerika.. ia bahkan belum menyelesaikan tournya..’
‘Ah~ jika itu alasanmu.. semoga semuanya baik-baik saja,’ ia mengusap bahuku, menenangkanku, ‘Friend remains forever. Kalau kau tidak mendapatkan  dia sebagai pasanganmu, ia akan tetap berdiri sebagai sahabatmu, arachi?’


=====================================================================================


Seoul, dua tahun kemudian...

Seoyeon menatapi bukit yang tidak banyak berubah tersebut. Menikmati udara musim panas di sore hari yang menyegarkan. Ia memasukkan headset ke telinganya. Mulai menunggu matahari musim panas terbenam. Tempat kesukaannya, sejak grade terakhir di middle-high.
Di tempat ini, ia pertama kali bertemu dengan Sehun. Ia tersenyum mengingat kenangan tersebut.
Kedua tangan menutupi matanya, gelap. Ia tersentak, refleks memutar badannya dan bersiap menyerang orang yang berani mengerjainya. Biasa hidup di Negara asing membuatnya harus sigap untuk menghadapi serangan yang mungkin terjadi.
Namun kepalan tangannya berhenti di udara.
Ia membelalakkan matanya tidak percaya.
‘Se-sehun?’
‘Ne, Seoyeon-ah? Tempat ini indah ya.. tidak pernah berubah.. bagaimana kabarmu?’
‘A-aku baik. Kau?’
‘Sangat baik.’
‘Aku senang mendengarnya,’ Seoyeon mengembangkan senyumnya.
Ada senyap di antara mereka. Sehun menatap Seoyeon, memuaskan dirinya, memenuhi pandangan matanya dengan sosok yang ia amat sangat rindukan—yang memenuhi tiap mimpinya dalam dua tahun ini.
‘BUK!’ Satu kepalan tangan Seoyeon melayang ke dada Sehun. Pandangan matanya kabur dengan air mata. Sehun menatap Seoyeon dengan tatapan kesedihan. Mereka berdua tahu apa maksudnya.
‘Me—mengapa kau tidak pernah menemuiku?! Mengapa kau dengan mudah percaya bahwa a—aku muak dengan kau.. Mengapa kau tidak pernah—mencoba-me-mencoba mengontakku. Mengapa?!’
Satu pukulan melayang lagi ke bahu Sehun. Sehun menerimanya, lidahnya kelu. Ia menarik Seoyeon ke pelukannya. Disana—di bahu orang yang amat ia rindukan, tetes air mata meluncur turun, menuruni pipinya, berkilau akibat matahari sore.
‘Mianhae, Seoyeon-ah. A-aku..’ ucapannya terputus di udara. Senyap kembali hadir diantara mereka, dipecah dengan isakan Seoyeon yang tiap detik semakin kencang. Sehun mengeratkan pelukannya.
Mereka bertahan dalam keadaan seperti itu untuk beberapa waktu.
‘Ki-kita.. bisakah.. kita kembali seperti dahulu?’ ucap Sehun takut-takut.
‘Tentu saja bodoh, untuk apa aku terus memakai cincin ini jika ingin melepaskanmu?’ Seoyeon memperlihatkan cincin yang ia pakai, tak pernah ia lepas, hadiah dari Sehun di kencan pertama mereka.
Senyum Sehun terkembang, ia menarik Seoyeon dalam pelukannya.
Lama, setelah Seoyeon berhenti mengisak.
Mereka berdua bertatapan, dua pasang mata yang merindukan satu sama lain.
Matahari terbenam, Sehun mendekatkan wajahnya ke wajah Seoyeon, dalam beberapa saat kemudian ia memberikan kecupan hangat—penuh dengan kerinduan dan harapan—di bibir Seoyeon.

-

How can I forget you?
I wouldn’t make any effort to try to forget you.
We will be able to go back to what we had, and stay, forever.
Even when I dream, I don’t want to believe those words.
Because—
 I love you.

0 komentar:

Posting Komentar