Jadi posting kali ini adalah hadiah fanfiction atau lebih tepatnya songfict yang diberikan dari sahabat saya, Lee Senri alias Ni Wayan. Dilatar belakangi oleh syndrom yang bernama "Gagal Move On" maka terciptalah fict ini. Berhubung saya mendapatkan ijin untuk memposting cerita ini, maka terpublish lah fiction ini. Enjoy !
Ini songfict terinspirasi dari TVXQ - How Can I (OST Athena : God of War) . Jadi, please play How Can I sambil baca fict nya.
Dan untuk sahabat saya, Senri yang menghadiahkan fict ini, GOMAWO !!! ^^
=========================================================================================
‘Sehun-ah,
handphone-mu tertinggal,’ kata Luhan, memberikan handphone ke tanganku. Aku
menerima handphone tersebut dengan senang hati kemudian kami semua pergi
meninggalkan hotel, menuju ke sebuah kafe tempat kami biasa menghabiskan waktu
untuk santai seusai menggelar konser comeback di London.
-
Kami berpesta,
benar-benar berpesta. Xiumin-hyung mentraktir kami banyak makanan, banyak
sekali makanan. Bahkan Tao, bisa terduduk diam kekenyangan karena teramat
banyak makan. Kami benar menikmati malam itu, rasanya kelelahan ku terbayar
melihat teman-temanku bersenang-senang hari ini. Ah, andai saja Seoyeon ada di
sini.
-
‘Sehun-ah,
handphone-mu berdering!’ kata Kai yang duduk disebelahku. Aku melihatnya
sebentar, kemudian tersenyum melihat Caller ID bertuliskan ‘Seoyeonnie’. Aku
melangkah keluar ke balkon kafe tersebut kemudian mengangkat telfon tersebut.
‘Yeoboseyo,’ dari
seberang sana terdengar suaranya, terdengar lelah dan sengau. Aku melirik jam
tanganku, sekarang pukul empat sore di London. Yang berarti sekitar tengah
malam di Korea. Aku mengangkat alisku kebingungan. Ada apa dengannya?
‘Sehun-ah..’
‘Ne. Waegeurae,
Seoyeon? Selarut ini? Disana sudah malam kan?’
‘Ne, sekarang sudah
amat larut disini. Se-sehun-ah,’ Ia tergagap memanggil namaku.
‘Hm? Ada apa? Apa
kau merindukanku Seoyeon?’ Aku menggodanya, mengharapkan sesuatu yang manis
terucap dari bibirnya. Aku merindukanmu, sangat merindukanmu. Berapa bulan kita
tidak bertemu? Lima? Atau enam bulan?
‘A-anhi.
Sebenarnya.. Sehun-ah.. aku ingin kita putus..’
‘WA-WAE?!
Seoyeon-ah, kau tidak sedang demam kan? Atau kau mengigau? Cepat kembali ke
tidurmu,’ aku tersentak mendengar kata-kata tersebut—yang sangat jauh dari yang
kuharapkan.
‘Ne, aku ingin kita
putus.. A-aku pikir ini tidak bisa diteruskan lagi, Sehun-ah. La-lagipula aku
akan memulai kuliahku lagi di Amerika. A—,’ ia tersedu, ‘I had enough.
Kesibukanmu, kesibukanku. We’re over, Sehun. Mianhae..’ satu isakan tangis
darinya sebelum sambungan telfon itu terputus dan meninggalkanku melihat
matahari yang sinarnya tiba-tiba menyilaukan.
-
Words, I shouldn’t
have heard.
My phone which I
should’ve just forgotten to bring.
Words that makes me
at a loss for words.
Words—
That don’t care
about how I feel.
-
Aku menyandarkan
badanku lemas ke dinding kaca pemisah antara ruang kami berpesta dengan balkon.
Setelah menyadarkan diriku kembali, aku masuk kedalam dan melihat wajah
teman-temanku.
‘Aku ke hotel,’
Menyadari bahwa aku
melihat dunia dalam slow-motion. Semua pegawai hotel yang menyapaku, kujawab
dengan pandangan kosong. Aku berjalan menuju kamarku kemudian menatapi London
yang terang benderang di kaca transparan tersebut. Rasanya—rasanya, tak dapat
kuuraikan.
Satu titik di
dadaku, entah dimana, seperti sedang mencoba menyadarkanku bahwa semua ini
mimpi buruk—teramat buruk. Aku tidak mau menerima kenyataan ini.
Lidahku pahit, kelu.
Tak ada sisa dari rasa makanan enak yang sebelumnya ku makan.
Ku pejamkan mataku
yang pedih—menahan tangis.
Namun yang terbayang
hanyalah wajah Seoyeon, yang entah sekarang sedang melakukan apa. Apakah
mungkin ia merasakan kehilangan sepertiku, atau.. ada yang lain selainku.
Seandainya semudah itu melupakan dan melepaskannya, jika untuk orang yang lebih
baik dariku—maka aku akan menerimanya.
Bagaimana caranya
melupakanmu?
Apa yang harus
kulakukan, untuk melupakanmu? Ketika yang lagi terbayang adalah senyummu. Cinta
dan kasihmu yang memenuhi pundi harapanku? Yang terus membuatku berjuang—ketika
semua motivasi hilang?
Adakah kemungkinan
kita kembali bersama?
Aku rasa kau.. tidak
benar-benar menginginkan.. perpisahan ini.
-
How can I forget
you?
Should I put an
effort to try and forget you?
Will we ever be able
to go back to what we had?
Last words—
Which made us both
at a loss for words.
-
‘Sehun-ah,’ Chanyeol
menepuk bahuku, ‘Ayo sarapan, kita akan menuju Paris.’
Aku terpaku di meja
makan, meneguk air jerukku tak peduli. Luhan menyodorkan sepinggan roti. Aku
menepis piring itu menjauh. Mengapa mereka semua tidak mau mengerti bahwa
rongga mulutku kering?
‘Sehun-ah, kau harus
makan, meskipun hanya sedikit,’ Suho mulai membujukku, ‘Man, you’ve got to move
on.’
‘Uh-uh, so much
girls in the world, choose one, and—gotcha!’ Kris menimpali dari ujung meja
makan. Disambut anggukan dari beberapa member lain.
Luhan kembali
memberikanku sepinggan roti, kali ini dengan telur, ‘Kau pasti bisa dapatkan
gadis lain, kay? Now eat.’
Aku terpaksa memakan
rotiku, sebelum Luhan mulai menceramahiku bahwa hubungannya lancar-lancar saja
dengan Senri, karena saling pengertian satu sama lain. Huh, bullshit, semua itu
terjadi karena Senri memang menjadikan studinya sebagai namjachingu
penggantinya ketika Luhan jauh. Seoyeon?
-
Suasana konser kali
ini.. dalam putih dan hitam. Tidak aku tidak menampakkan senyum. Tapi aku boleh
sedikit selfish kan?
-
Aku berjalan ke
ruang ganti, meneguk air mineralku. Menutup mataku.
Seoyeon, ruang
persiapan konser EXO empat tahun yang lalu.
‘Saranghae,
Seoyeon-ah.. aku pikir kita bukan hanya sekedar sahabat sejak dahulu.. ki—kita
lebih dari itu..’ kulihat tubuhnya yang sedang duduk bersebelahan bersamaku,
setelah meneriakkan betapa ia suka akan dance yang kutampilkan beberapa saat
lalu—mendadak kaku, ia terdiam. Dadaku berdebar, rasa adiktif debaran tersebut
seperti saat menunggu giliranmu tampil di stage.
Aku menunggu,
menunggu, menunggu.. akankah kau, merasakan hal yang sama?
Kata-kata apa yang
akan kau keluarkan, akan menentukan perubahan posisiku. Sebagai namjachingunya
atau sebagai sahabat yang ia jauhi karena sebuah kejujuran?
Ia mengambil handuk
dari tanganku, melemparnya ke mukaku.
‘Baboya~ bersihkan
dulu keringatmu sebelum mengatakan hal seperti itu, huh!’ Ia beranjak, aku
menahan pergelangan tangannya.
‘Seoyeon-ah..’
rajukku.
Dalam beberapa saat
kemudian ia mengambil handuk tersebut dari tanganku, membersihkan wajahku dari
keringat, dan memberikan ciuman kecil di pipiku.
‘Aku tidak suka,
keringatmu yang bercucuran. Rasanya sama, Sehun-ah. Why it takes a long time to
make you realized it?’ Aku merasakan wajahku memanas dan ia meninggalkanku,
sebelum melambai dengan wajah yang memerah.
-
When I would tell
you that I loved you.
You would stop, and
my heart would feel like it was exploding.
I have stopped and,
I’m simply waiting—
For your next words.
=====================================================================================
How can I forget
you?
Should I put an
effort to try and forget you?
Will we ever be able
to go back to what we had?
Words that hurts, no
matter what—
Words of Goodbye.
-
Aku menutup
sambungan telfon tersebut. Pedih, rasanya. Aku tidak bermaksud.. menyakiti
Sehun. Tapi. Semua sudah cukup, aku tak ingin lagi lelah, aku ingin mengakhiri
semuanya. Aku ingin kehadirannya dalam bentuk hanya phone-call, internet call,
atau email, atau apapun!
Mungkin, aku meminta
apa yang ia tidak bisa berikan. Atau entahlah. Aku bingung.
Tapi.. jika ini
memang keinginanku, why speaking those words felt too harsh? Mengapa rasanya
juga sakit?
Mengapa rasanya
seperti ada yang mengganjal dalam tenggorokanku, meninggalkan jejak pahit di
pangkal lidahku..
Mengapa aku rasa..
aku menyesal.. melontarkan kata-kata tersebut..
Mengapa.. ia bukan
orang biasa, yang dapat hadir disisiku setiap saat aku butuh?
-
If only time could
stop.
If only we could
erase.
If only we could go
back in time.
To the day when we
first met.
-
Aku menatap nanar
lampu-lampu di luar kamarku. Akankah ia melakukan hal yang sama denganku?
Akankah di suatu tempat ia menatap jendela, sepertiku? Yang kini mencari
sosoknya dalam gelas kaca tersebut. Yang menatap gelas kaca di depan mataku
seperti menatap televisi yang memutar ulang semua kenangan.
Aku ingin ia ada di
sisiku, seperti hari-hari dimana aku bisa bermain bersamanya. Tanpa status yang
jelas aku mendapatkan waktu yang tak berbatas untuk berada di sisinya, melihat
senyum dan tawanya, melihat wajahnya, tatapan matanya yang tajam.
Aku hanya ingin
semuanya kembali ke musim panas tujuh tahun yang lalu.
Dimana aku menemukan
dan memanjakan mataku akan sosoknya yang tampan, disinari matahari sore.
Dimana aku akan bisa
bermain bersamanya di tiap detik waktu yang kami punyai.
Dimana aku bisa
melihatnya merengut karena sepedanya yang terkena pecahan kaca.
Dimana aku mulai
mengingat hal-hal yang menjadi kesukaannya.
Dimana aku mulai
belajar mencintainya.
Dimana, hari-hariku
penuh akan dirinya.
Tuhan, aku ingin
menjadi orang yang egois, sekali ini saja? Membiarkan waktu berhenti dan ia
disisiku.
-
How can I forget
you?
Should I put an
effort to try and forget you?
Will we ever be able
to go back to what we had?
My words are frozen,
tears keep flowing, words which—
I don’t want to
believe.
-
‘Ya! Mengapa kau?’
Senri memekik kaget saat aku menampakkan diri di pintu flatnya di pagi buta.
Sekarang pukul enam, matahari belum lagi terbit.
Aku menghambur dalam
pelukannya, ia kebingungan. Air mataku turun, turun, tidak berhenti.
‘Seoyeon-ah? Ada
apa? Apa yang terjadi?’
Aku terus mengisak
di bahunya. Ia membiarkanku beberapa saat kemudian menyeretku ke tempat
tidurnya.
‘Sekarang tidur,
puaskan tangismu, aku disini, kay?’ Ia mendesah, menepuk pundakku ringan, ‘Kau
sakit? Ada anggota keluargamu yang ingin kau kabari?’ tanyanya lagi. Aku
menggeleng lemah, kemudian air mata kembali membanjiri mataku.
‘Sekarang tidurlah.’
-
‘A-a-ku putus,’
kataku kaku, sembari memakan roti panggang yang dibuatkan Senri.
‘Mwo?’ Ia
terbelalak, ‘Ada masalah apa?’
‘Aku pikir kami
tidak akan memiliki waktu untuk bertemu lagi. Kau tahu aku akan berangkat ke
Amerika.. ia bahkan belum menyelesaikan tournya..’
‘Ah~ jika itu
alasanmu.. semoga semuanya baik-baik saja,’ ia mengusap bahuku, menenangkanku,
‘Friend remains forever. Kalau kau tidak mendapatkan dia sebagai
pasanganmu, ia akan tetap berdiri sebagai sahabatmu, arachi?’
=====================================================================================
Seoul, dua tahun
kemudian...
Seoyeon menatapi
bukit yang tidak banyak berubah tersebut. Menikmati udara musim panas di sore
hari yang menyegarkan. Ia memasukkan headset ke telinganya. Mulai menunggu
matahari musim panas terbenam. Tempat kesukaannya, sejak grade terakhir di
middle-high.
Di tempat ini, ia
pertama kali bertemu dengan Sehun. Ia tersenyum mengingat kenangan tersebut.
Kedua tangan
menutupi matanya, gelap. Ia tersentak, refleks memutar badannya dan bersiap
menyerang orang yang berani mengerjainya. Biasa hidup di Negara asing
membuatnya harus sigap untuk menghadapi serangan yang mungkin terjadi.
Namun kepalan
tangannya berhenti di udara.
Ia membelalakkan
matanya tidak percaya.
‘Se-sehun?’
‘Ne, Seoyeon-ah?
Tempat ini indah ya.. tidak pernah berubah.. bagaimana kabarmu?’
‘A-aku baik. Kau?’
‘Sangat baik.’
‘Aku senang
mendengarnya,’ Seoyeon mengembangkan senyumnya.
Ada senyap di antara
mereka. Sehun menatap Seoyeon, memuaskan dirinya, memenuhi pandangan matanya
dengan sosok yang ia amat sangat rindukan—yang memenuhi tiap mimpinya dalam dua
tahun ini.
‘BUK!’ Satu kepalan
tangan Seoyeon melayang ke dada Sehun. Pandangan matanya kabur dengan air mata.
Sehun menatap Seoyeon dengan tatapan kesedihan. Mereka berdua tahu apa
maksudnya.
‘Me—mengapa kau
tidak pernah menemuiku?! Mengapa kau dengan mudah percaya bahwa a—aku muak
dengan kau.. Mengapa kau tidak pernah—mencoba-me-mencoba mengontakku.
Mengapa?!’
Satu pukulan
melayang lagi ke bahu Sehun. Sehun menerimanya, lidahnya kelu. Ia menarik Seoyeon
ke pelukannya. Disana—di bahu orang yang amat ia rindukan, tetes air mata
meluncur turun, menuruni pipinya, berkilau akibat matahari sore.
‘Mianhae,
Seoyeon-ah. A-aku..’ ucapannya terputus di udara. Senyap kembali hadir diantara
mereka, dipecah dengan isakan Seoyeon yang tiap detik semakin kencang. Sehun
mengeratkan pelukannya.
Mereka bertahan
dalam keadaan seperti itu untuk beberapa waktu.
‘Ki-kita.. bisakah..
kita kembali seperti dahulu?’ ucap Sehun takut-takut.
‘Tentu saja bodoh,
untuk apa aku terus memakai cincin ini jika ingin melepaskanmu?’ Seoyeon
memperlihatkan cincin yang ia pakai, tak pernah ia lepas, hadiah dari Sehun di
kencan pertama mereka.
Senyum Sehun
terkembang, ia menarik Seoyeon dalam pelukannya.
Lama, setelah
Seoyeon berhenti mengisak.
Mereka berdua
bertatapan, dua pasang mata yang merindukan satu sama lain.
Matahari terbenam,
Sehun mendekatkan wajahnya ke wajah Seoyeon, dalam beberapa saat kemudian ia
memberikan kecupan hangat—penuh dengan kerinduan dan harapan—di bibir Seoyeon.
-
How can I forget
you?
I wouldn’t make any
effort to try to forget you.
We will be able to
go back to what we had, and stay, forever.
Even when I dream, I
don’t want to believe those words.
Because—
I love you.